BUDAYA POSITIF
Oleh: Zulfian
Yusmana, M.Pd
SMPN 10 Cibeber –
Lebak
A.
Latar Belakang
Seorang guru diibaratkan sebagai seorang petani yang
memiliki peranan penting untuk menjadikan tanamannya tumbuh subur.
Ki Hajar Dewantara mengumpamakan sekolah sebagai
sebuah ladang tempat persemaian bibit, agar bibit bisa perkembang secara
maksimal maka petani dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara bibit tanaman,
memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu
hidup bibit tanaman dan lain sebagainya. Dari uraian tersebut, kita dapat
memahami bahwa sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga
seorang guru perlu mengusahakan agar sekolah menjadi sebuah lingkungan yang
menyenangkan, aman, nyaman untuk bertumbuh, serta dapat menjaga dan melindungi
setiap murid dari hal-hal yang kurang bermanfaat, atau bahkan mengganggu
perkembangan potensi murid.
Dengan demikian, salah satu tanggung jawab seorang
guru adalah bagaimana menciptakan suatu lingkungan positif yang terdiri dari
warga sekolah yang saling mendukung, saling belajar, saling bekerja sama
sehingga tercipta kebiasaan-kebiasaan baik; dari kebiasaan-kebiasaan baik akan
tumbuh menjadi karakter-karakter baik warga sekolah, dan pada akhirnya
karakter-karakter dari kebiasaan-kebiasaan baik akan membentuk sebuah budaya
positif.
Dalam mewujudkan budaya positif perlu adanya disiplin
positif. Mari kita bahas tentang konsep disiplin positif dan motivasi melakukan
disiplin positif dalam budaya positif.
B.
Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan
Universal
1.
Disiplin Positif
Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin
dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata ‘disiplin’ juga
sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar
tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah
salah satu alternatif terakhir dan bila perlu tidak digunakan sama sekali.
Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai
menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan
kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa:
“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada
disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ‘self discipline’ yaitu
kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama
saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah
penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di
dalam suasana yang merdeka.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan,
Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470).
Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan
atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang
merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang
dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak
memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk
mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan
dari dalam diri kita sendiri.
Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar
adalah:
mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh,
nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya
terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri).
Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School
Discipline, 2001. menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga
berkonotasi dengan disiplin diri dari murid-murid yang dapat membuat seseorang
menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan
bermakna. bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri
untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai. Dengan
kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa
bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan
tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan
anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan
mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik,
bukan ekstrinsik.
2.
Nilai-nilai Kebajikan Universal
Nilai-nilai
kebajikan universal merupakan nilai - nilai kebajikan yang disepakati bersama ,
lepas dari suku, bangsa, agama, bahasa, maupun latar belakangnya. Nilai-nilai
universal bagaikan payung besar dari perilaku dan sikap kita atau
sebagai pondasi kita dalam berperilaku.
Nilai-nilai
kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang
ingin dicapai setiap individu. Seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. William
Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki
suatu tujuan, dan selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan
mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi
intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan.
Berikut ini
contoh nilai nilai kebajikan dari beberapa institusi/ organisasi : Profil
Pelajar Pancasila yakni Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
Berakhlak Mulia, Mandiri, Bernalar Kritis, Berkebinekaan Global, Bergotong Royong
dan Kreatif. IBO Primary Years Program (PYP). yakni sikap Murid :
Toleransi, Rasa Hormat, integritas, Mandiri, Menghargai, Antusias, Empati,
Keingintahuan, Kreativitas, Kerja sama, Percaya diri, Komitmen. Sembilan
Pilar Karakter (Indonesia Haritage Foundation/IHF).
C.
Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan,
Restitusi
1.
3 Motivasi Prilaku Manusia
Diane Gossen
dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi
perilaku manusia:
a.
Untuk menghindari ketidaknyamanan atau
hukuman
Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia.
Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau
ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak
melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin
muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak
terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut.
Motivasi ini bersifat eksternal.
b.
Untuk mendapatkan imbalan atau
penghargaan dari orang lain
Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini
orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Orang dengan motivasi iniakan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila
saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian
dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia
berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah,
pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat eksternal.
c.
Untuk menjadi orang yang mereka inginkan
dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi
orang yang seperti apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena
nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena
mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini
tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin
positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.
2.
Hukuman dan Penghargaan
a.
Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi
Tindakan terhadap suatu pelanggaran pada umumnya
berbentuk hukuman atau konsekuensi. Hukuman
bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang
akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru
yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu
kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya.
Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti
oleh suatu perbuatan atau kata-kata.
Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah
terencana atau sudah disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan
guru. Umumnya bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan
murid sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada
pelanggaran. Pada konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka
waktu pendek.
Adapun Restitusi adalah proses menciptakan kondisi
bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali
pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi
juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi
untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa
yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom
Gossen, 1996). Restitusi juga merupakan disiplin positif yang dapat diterapkan
pada masalah siswa di kelas atau di sekolah.
Kata disiplin tanpa tambahan kata ‘positif’ di
belakangnya, sesungguhnya sudah merupakan identitas sukses dan hukuman
merupakan identitas gagal. Disiplin yang sudah bermakna positif terbagi dua
bagian yaitu Disiplin dalam bentuk Konsekuensi, dan Disiplin dalam bentuk
Restitusi.
b.
Restitusi Sebuah Cara Menanamkan Disiplin
Positif Pada Murid
Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki
tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah.
Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain
atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang
menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Melalui pendekatan
restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan mengajak
murid berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki
kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai
dirinya. Pendekatan restitusi tidak hanya menguntungkan korban, tetapi juga
menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Restitusi juga sesuai dengan
prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang.
Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh
karakternya, ketika mereka melakukan kesalahan, karena pada hakikatnya begitulah
cara kita belajar. Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka
pilih, namun mereka juga dapat belajar dari pengalaman untuk membuat pilihan
yang lebih baik di waktu yang akan datang. Ketika guru memecahkan masalah
perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari
keterampilan yang berharga untuk hidup mereka.
Ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program
disiplin lainnya.
1)
Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun
untuk belajar dari kesalahan
2)
Restitusi memperbaiki hubungan
3)
Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan
4)
Restitusi ‘menuntun’ untuk melihat ke dalam diri
5)
Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari
Tindakan
6)
Restitusi diri adalah cara yang paling baik
7)
Restitusi fokus pada karakter bukan Tindakan
8)
Restitusi menguatkan
9)
Restitusi fokus pada solusi
10)
Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah
pada kelompoknya
3.
Keyakinan Kelas
Setiap
tindakan atau perilaku yang kita lakukan di dalam kelas dapat menentukan
terciptanya sebuah lingkungan positif. Perilaku warga kelas tersebut menjadi
sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Dalam
mewujudkan prilaku warga sekolah yang memiliki budaya positi hal pertama perlu
diciptakan dan disepakati adalah membuat keyakinan-keyakinan atau
prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas untuk mendapatkan
nilai-nilai kebajikan yang disepakati Bersama.
Mengapa
keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja ? jawabannya adalah suatu
keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara
intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan
keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan yang
mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu yang membuat ketidaknyamanan
dan keterpaksaan. Berikut adalah cara pembuatan keyakinan kelas.
Pembentukan
Keyakinan Sekolah/Kelas:
·
Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’
daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.
·
Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan
universal.
·
Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat
dalam bentuk positif.
·
Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak,
sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.
·
Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat
diterapkan di lingkungan tersebut.
·
Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi
dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
·
Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari
waktu ke waktu.
D.
Restitusi - Lima Posisi Kontrol
Disiplin positif yang berpusat pada murid, yang
dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan
5 Posisi Kontrol, diantaranya:
1.
Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan
hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum,
senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat
lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi.
2.
Pembuat Merasa Bersalah: pada posisi ini
biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan
menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah,
atau rendah diri.
3.
Teman: Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti
murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi
teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan
baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan
hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang.
4.
Pemantau: Memantau berarti mengawasi. Pada saat
kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita
awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi.
Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi
kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau.
5.
Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi
di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid
mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi
atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di
posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu
tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan.
E.
Segitiga Restitusi
Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring
School Discipline, (2001) telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para
guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk
melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle. Pendekatan
segitiga restitusi melalui proses tiga tahapan didasarkan pada prinsip-prinsip
utama dari Teori Kontrol, yaitu:
Tahapan |
Teori Kontrol |
|
1 |
Menstabilkan Identitas Stabilize the
Identity |
Kita semua akan melakukan hal terbaik
yang bisa kita lakukan |
2 |
Validasi Tindakan yang Salah Validate the
Misbehaviour |
Semua perilaku memiliki alasan |
3 |
Menanyakan Keyakinan Seek the Belief |
Kita semua memiliki motivasi internal |
Ketiga strategi tersebut direpresentasikan dalam 3
sisi segitiga restitusi. Langkah[1]langkah tersebut
tidak harus dilakukan satu persatu secara kaku. Banyak guru yang sudah
menggunakannya dalam berbagai versi menurut gaya mereka masing-masing bahkan
tanpa mengetahui tentang teori restitusi.
Segitiga Restitusi
1.
Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)
Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah
identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang
yang sukses. Anak yang melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian
adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita
akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi
reflektif, maka kita harus meyakinkan si anak.
2.
Validasi Tindakan yang Salah (Validate
the Misbehavior)
Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan,
yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang
mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif
untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
3.
Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief)
F.
Penutup
Demikianlah pembahasan materi 1.4 Budaya Positif, Yang saya
ambil dari dalam LMS Pendidikan Guru Penggerak, Semoga kita semua dapat
melaksanakan Budaya Positif dalam kehidupan sehari demi terwujudnya tujuan
pembelajaran yang kita harapkan. Aamiin
0 komentar:
Posting Komentar